Tuesday 20 December 2016

When Breathing Offends People

Image result for offend people 2016 meme
Source: imgflip.com
People gets offended easily nowadays, hingga para "hakim-hakim" dadakan bermunculan di setiap jengkal dunia ini (lebay). Saya tidak tahu apa yang salah, kebanyakan micin kah? Atau pengaruh pemanasan global hingga membuat kenaikan suhu juga terjadi di otak dan hati masyarakat dunia masa kini? Hal semacam ini tidak hanya eksis di dunia maya, di dunia nyata pun fenomena ini kerap kali terjadi. Saya bukan seorang pengamat, filsafat, politikus, maupun ahli antropologi. Jadi jangan harap saya akan membahas tema-tema besar yang sedang terjadi baru-baru ini.


Zaman sekarang, apa pun yang kita lakukan, sekecil apapun, pasti akan selalu berdampak negatif di mata orang lain. Nyindir si A di media sosial, yang kesindir si B sampai Z, si A malah tenang-tenang aja. Menunjukkan perhatian ke orang lain, dikira modus operandi. Kalau kata Mbah @sudjiwotedjo di akun Twitter-nya: "Lama2 org males romantis karena ntar disebut galau. Males peduli takut disebut kepo. Males mendetil takut dibilang rempong". (Yang terakhir saya rasakan baru-baru ini. Waks!)

Pasang foto cantik, dikomen "Ah pasti editan tuh!"
Pasang foto jelek, dikomen "Ini pasti lagi nyindir!"
Pasang status punya mobil baru, dikomen "Pamer!"
Pasang status akhir bulan makan promag sama aqua gelas, dikomen "Makanya nabung!"
Ditanya temen dapet nilai berapa, jawab "80", dibilang "Sombong!"
Ditanya temen dapet nilai berapa, jawab "40", dibilang "Lo sih pacaran mulu."
Hari Raya di Jakarta aja, ga kemana-mana, dibilang "Gak punya kampung ya lo?"
Hari Raya ke luar kota, dibilang "Tuh kan desa jadi macet gara-gara pada pulang kampung sih!"
Memikirkan kepentingan diri sendiri dibilang egois, sedangkan memikirkan kepentingan orang lain dibilang ribet. Susah emang, tatakan gelas.
Yang paling epic: "Ini kenapa sih orang-orang pada pake mobil? Bikin macet aja!!" padahal sendirinya lagi di dalem mobil. Sendirian.

Besok-besok kita napas juga bakal diomongin ama tetangga komplek.

Semudah itu kita membenci perilaku seseorang, kemudian menghakiminya seenak jidat kita. Saya pernah mencapai fase, yang nampaknya masih akan saya lakukan hingga detik ini, yaitu mengurangi intensitas pergaulan dengan orang lain, dengan tujuan untuk meminimalisir kontak yang dikhawatirkan akan berujung panas, yang mana masih saja dikomentari "Gak punya temen ya lo? Psikopat banget ya lo?"

...
...
...

Hingga pada akhirnya, saya tidak lagi berperilaku demi menyenangkan hati orang lain, karena sekeras apapun saya mencoba, hasilnya adalah hanya nol besar. Sebaliknya, saya berusaha untuk terus memperbaiki diri menjadi pribadi yang tidak mudah tersinggung. Agar apa? Agar angka kolestrol dan tekanan darah saya tidak melewati ambang batas normal. Melihat teman punya hidup enak, jalan-jalan mulu, saya coba untuk menabung lebih giat lagi. Melihat teman berangkat gelap pulang gelap, saya bersyukur bahwasannya tempat saya bekerja dapat ditempuh dalam 10 menit saja. Ada orang yang tidak suka jika kita duduk di kursi kantin favoritnya, padahal itu tempat umum, lebih baik cari tempat duduk lain, daripada dia bikin kultweet cuma gara-gara bangku.

Sekali lagi, kita tidak bisa mengontrol sikap dan persepsi orang lain terhadap kita, namun kita juga tidak bisa menuruti apa yang orang lain inginkan terus menerus. Jadi, apalagi yang bisa kita lakukan selain ikhlas? Usia saya sekarang 22 tahun, orang-orang di kehidupan saya berusia sama dengan saya, bahkan tidak sedikit yang lebih tua dari saya. Cara berpikir mereka sudah 22 tahun (bahkan lebih) terbentuk sedemikian rupa. Memangnya saya siapa, berhak mengubah semua itu? Mau tidak mau ya akhirnya saya yang harus menyesuaikan diri. Walaupun deep inside my heart, I wish that The Purge was real.

Semua pilihan kembali kepada diri kita, toleransi, atau tinggalkan. Saya lebih sering memilih opsi kedua, sih, simply karena saya malas konflik dengan orang lain. Tetapi bukan semerta-merta saya rela di-judge apapun, tetap ada kalanya saya harus bertindak, dan ada kalanya saya hanya berdiam diri sambil berdoa minta kekuatan oleh Allah SWT.

Ada istilah yang sedang tren di kalangan netizen masa kini, yaitu "haters" yang artinya pembenci. Akun Instagram penuh dengan komentar negatif, bangga, 'Gue punya haters nih, berarti gue famous.' Duh.
Guys, they aren't haters, they're just a bunch of overly sensitive people who needs attention, because their life is s*cks!


2 comments: