Tuesday 20 December 2016

Dua Anak Lebih Baik - Karl Marx

Picture: Instagram @dagelan
Catatan ini saya buka dengan gambar seorang tokoh yang sudah tidak asing lagi, Karl Marx. Nilai pelajaran IPS saya di bangku sekolah memang tidak bisa dibilang bagus, terutama menyangkut sejarah dan politik, namun saya yakin, bahwasannya Karl Marx tidak pernah mengambil sesi foto untuk iklan layanan masyarakat yang menyarankan program keluarga berencana. Hmm, apakah memang pernah?


Satu hal yang ingin saya sampaikan, perihal kebebasan kita dalam menjalankan media sosial. Saya bukannya ingin membahas mengenai UU ITE dan kebijakan lainnya yang sebenarnya pun saya kurang sepenuhnya setuju (Ampun Pak, jangan tangkap saya). Kita semua tahu bahwasannya media, dalam hal ini khususnya media sosial, terlihat seakan tidak memiliki batasan apapun. Tetapi ada baiknya kita memiliki batasan dalam diri dan pikiran kita sendiri, terutama menyangkut etika dalam berselancar di media sosial.

(Kebanyakan basa-basi, langsung aja woy!)

Baiklah, poinnya adalah bahwasannya media sosial memiliki batasan umur yang perlu diisi dengan kejujuran dan kesadaran. Untuk apa? Salah satunya adalah, pengembang media sosial berharap para penggunanya sudah berada dalam kategori cukup umur untuk berpikir lebih jauh terhadap apa yang ingin dilakukannya dalam akun media sosial tersebut.

(Buat apa sih pake mikir-mikir buat nulis status doang?)

Hm, listen to me. Saya tidak akan membahas tentang konten pribadi pada akun media sosial Anda. Tetapi perihal kecepatan penyebaran berita hoax yang melebihi kecepatan move on saya (itu mah lama dong). Hm kalau gitu melebihi kecepatan cahaya (Ah, hoax ini mah. Belum teruji di IPB dan ITB). Ok whatever, I hope you guys still got the point. Berita palsu dibuat dengan berbagai tujuan, yang mana tujuan terbesar yang saya ketahui adalah meraup banyak viewers, share, dan/atau likers, yang kemudian akan membawa mereka ke keuntungan berlipat ganda. Di mana mereka sedang selonjoran sambil makan indomie rebus pakai cabai rawit tiga, di depan layar komputer mereka, sementara pundi-pundi rupiah memenuhi rekening mereka dan kita misuh-misuh gak karuan di dunia nyata, malah sampai ada yang ribut sungguhan. Itu belum seberapa, selain tujuan-tujuan lain yang lebih besar dengan segala konspirasi di baliknya.

Contoh kecilnya sudah saya sebutkan di atas, adanya potret seorang tokoh dengan kutipan di sampingnya, terlihat meyakinkan, apalagi jika menggunakan bahasa asing, yang nyatanya palsu. Belum pernah saya temukan potret tokoh dunia bergaya layaknya boyband masa kini, sambil kampanye keluarga berencana. Oke mungkin itu terlihat gampang, logika sedangkal apapun pasti dapat menyangka bahwasannya gambar tersebut adalah palsu. Namun apa jadinya jika yang beredar berupa berita? Dengan modal potongan berita atau gambar dari sumber lain, ditambah dengan kemampuan desain dan bahasa, khususnya untuk membuat judul yang provokatif, klik klik klik and voila! Langsung kaya mendadak, terkenal, dan keuntungan lainnya seketika menghampiri.

Source: malesbanget.com
Kebijakan dalam memilah-milah berita apa saja yang mau kita sebarluaskan bukan hanya perlu diterapkan di media sosial, namun juga di akun-akun messenger, baik di jaringan pribadi maupun di jaringan bersama (group chat). Kita tidak tahu dampak apa yang terjadi pada si penerima setelah membaca pesan berantai yang bahkan sumbernya saja tidak jelas. Kemungkinan yang paling besar adalah si penerima pesan juga akan menyebarkannya ke seluruh kontak di ponselnya, demikian seterusnya hingga negara api menyerang. Atau kemungkinan terburuknya, si penerima mendapat berita palsu yang ternyata membuat ia panik, khawatir, dan semacamnya sehingga terjadi hal-hal di luar dugaan kita (fiks ini lebay). Untuk menghindari hal-hal tersebut, ada baiknya kita kroscek kebenarannya terlebih dahulu, atau jika malas, lebih baik tidak usah diteruskan.

Source: malesbanget.com
Banyak trik yang dilakukan si pembuat berita palsu untuk menarik 'jempol' sebanyak-banyaknya, contoh berikutnya yang saya temukan, dan mungkin tidak asing juga bagi masyarakat yang aktif di jejaring sosial Facebook adalah ini:

"SEE THE MAGIC" THEY SAID. *facepalm*

2016 sebentar lagi berganti menjadi 2017, even we're closer to 2020 than 2000, tapi Anda masih komentar dan menyukai tautan semacam ini? Sorry, I guess you take the wrong plane, dude. Hal demikian juga acapkali terjadi saat kita menemukan headline yang bahkan belum kita baca isinya, tetapi sudah kita bagikan ke seluruh pengikut di media sosial.


BERITA MENCENGANGKAN! IKAN BERKEPALA LELE DITEMUKAN DI PROBOLINGGO, JAWA BARAT

Saya rasa banyak di antara kita yang, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, langsung menekan tombol 'Bagikan' saat melihat headline seperti itu, bahkan sebelum membaca isinya. Dengan dalih, 'Probolinggo kan kampung saya, saya harus infokan ini ke teman-teman se-kampung!.' atau 'Jawa Barat kan tempat tinggal mertua saya, saya harus jadi yang pertama membagikan info ini.'. Tanpa menyadari bahwasannya Probolinggo bukan berada di Jawa Barat dan di Jawa Barat tidak ada tempat bernama Probolinggo, BAHKAN IKAN BERKEPALA LELE BUKANLAH SUATU HAL YANG MENCENGANGKAN. Saya tidak banyak mengetahui bagaimana cara kerja akun-akun penjaring 'jempol' itu, namun saya yakin, mereka memanfaatkan ketidaktahuan kita untuk meraup keuntungan, yang bahkan tidak kita sadari dampak selanjutnya. 

Potret dan kutipan tokoh terkenal sudah, bahasa asing sudah, headline berita sudah, namun ada lagi hal yang biasanya langsung disebarluaskan tanpa diketahui maksud dan tujuan dari tautan tersebut: tautan dengan istilah sains atau medis. Berapa banyak sih dari kita yang 'merasa keren' dengan membagikan berita-berita dengan judul yang mengandung istilah-istilah asing, yang belum tentu kita pernah dengar sebelumnya? Berapa banyak dari kita pula yang sejujurnya juga tidak paham dengan isi dari berita tersebut, namun tetap membagikannya di linimasa karena merasa tautan tersebut 'berguna bagi khalayak ramai'?

Source: 9gag.com

Baiklah, saya pikir kita semua sudah cukup berlogika dalam memilih tautan apa saja yang perlu dan tidak perlu disebarluaskan. Catatan ini dibuat bukan berarti saya sempurna dan tidak pernah menyebar berita palsu, saya akui saya pernah berada di jaman jahiliyah itu. Sedikit pesan dari Presiden Amerika Serikat ke -16, Sir Abraham Lincoln, yang mana Amerika Serikat adalah negara dengan kemampuan teknologi yang lebih canggih dari pada yang pernah kita ketahui, kiranya dapat membuat kita lebih berhati-hati dalam menyebarkan berita. SEBARKAN KE 10 ORANG YANG ADA DI KONTAK ANDA, JIKA BERHENTI DI ANDA MAKA LADANG GANDUM AKAN BERUBAH MENJADI KOKO CRUNCH!!!!!!!!!!


Source: weknowmemes.com

2 comments: