Monday 19 December 2016

Mockingjay by Suzanne Collins

Jika di ulasan sebelumnya saya menggunakan kata 'memberanikan diri', namun untuk ulasan kali ini, saya menggunakan kata yang lebih kuat, yakni, 'IDC'. Mengapa tidak peduli? Pertama, saya belum menonton film-nya saat membaca buku ini. Kedua, FILM-NYA ADA DUA PART DAN PART KEDUANYA BARU RILIS AKHIR TAHUN 2015 -saya membaca buku ini Maret 2015-. Saya tidak menemukan kata yang lebih pas untuk menggambarkan keberanian saya saat memutuskan untuk membaca seri terakhir dari trilogi The Hunger Games, yakni Mockingjay.


Seri ketiga dari trilogi ini membawa cerita tentang kelanjutan pemberontakan yang dilakukan oleh Katniss Everdeen, yang ternyata didukung oleh banyak pro-Panem lainnya. Serta bagaimana nasib Katniss Everdeen dan peserta yang selamat dari arena Quarter Quell yang telah diceritakan di seri sebelumnya. Mockingjay tetap tidak lepas dari ciri khas trilogi The Hunger Games, yakni pertandingan, yang dibungkus dengan apik oleh Collins dalam skenario yang sangat berbeda.

Jika di seri sebelumnya saya dapat langsung memuaskan dahaga yang masih tersisa dengan menikmati filmnya, maka di seri ketiga ini saya bertindak 'nekad' karena dahaga saya akan kelanjutan trilogi ini jauh lebih besar. Sekali lagi Collins mampu menyeret saya ke dalam aliran imajinasi yang ia ciptakan. Dengan modal imajinasi yang pas-pasan, saya berhasil menamatkan buku ini dengan perasaan campur aduk. Emosi saya benar-benar dipermainkan di sini oleh Collins. Terlebih saat tokoh kesukaan saya 'dimatikan' dengan meninggalkan saya berenang-renang dalam naungan hati yang porak poranda. Imajinasi dan kemampuan tata bahasa yang terbatas tidak menghalangi saya menyelesaikan buku ini.

Ada satu hal yang sedikit membuat saya, bisa dibilang kecewa. Eksekusi dari akhir cerita yang jauh dari ekspektasi saya. Mungkin saya terlampau jauh mengikuti aliran imajinasi dari Collins, sehingga saya terdampar di pulau yang tidak berpenghuni. Akhir cerita dibuat seakan-akan kita tiba-tiba jatuh dari jurang saat sedang menikmati panorama puncak gunung. In my humble opinion, sepertinya Collins sulit menemukan ending yang tepat setelah berhasil meledakkan imajinasi para pembaca. But overall, Suzanne Collins, you did it!

No comments:

Post a Comment