Friday 10 February 2017

Misteri Fingerprint dan Kamar Lembab (PKL di Pulau Pramuka: Part 2)

Yak, melanjutkan apa yang dulu pernah dimulai. Kali ini saya akan menceritakan kelanjutan nasib saya setelah ditinggal kawan saya kembali ke asal mereka masing-masing, sedangkan saya harus berjuang sendiri selama 30 hari ke depan untuk menyelesaikan tugas magang ini. Kisah dimulai dari kedatangan saya yang ternyata kurang tepat, bukan hanya perihal cuaca yang sedang buruk-buruknya, tapi juga ketersediaan tempat tinggal (mess).


Salah satu hal yang cukup membuat saya semakin yakin untuk melaksanakan PKL di Pulau Pramuka adalah adanya fasilitas yang diberikan berupa mess, secara gratis. Namun apa mau dikata, setelah urusan birokrasi dan perjalanan yang hampir merenggut nyawa saya baru saja terlewati, saya disambut oleh bangunan mess yang berbeda. Bangunan kayu yang saya lihat saat survei beberapa bulan sebelumnya, kini berubah menjadi kerangka batu dan semen. Ya, mess mahasiswa yang biasa disebut Acropora itu, sedang direnovasi dan sama sekali tidak bisa ditinggali.

Dua hari sebelumnya, saat saya masih bersama kawan, kami tinggal di rumah warga yang disewa oleh dua mahasiswa UNPAD yang juga sedang melakukan PKL, Vicky dan Faisal. Rumah yang cukup besar untuk ditinggali mereka berdua. Awalnya saya berniat untuk tinggal di sana. Tetapi, selain karena letaknya jauh dari kantor Taman Nasional, saya yang saat itu masih tergolong cupu, agak takut untuk tinggal satu rumah dengan dua lelaki yang baru dikenal, di pulau orang. Keinginan saya untuk tidak tinggal di rumah itu bertambah, tatkala melihat ada sebuah sumur di dalam rumah itu, persis di depan kamar mandi. ADA SUMUR DI DALEM RUMAH. TIAP MALEM DIDATENGIN SADAKO. Itu yang ada di pikiran saya.

Saya yang saat itu hanya membawa uang yang cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, ditambah mesin ATM yang seringkali kehabisan uang tunainya, saat itu merasa kebingungan. Rasanya menyewa rumah warga untuk ditinggali satu bulan ke depan merupakan pilihan terakhir, jika opsi tidur di masjid atau warung Mang Oji dirasa tidak membantu. Setelah diskusi dengan pihak Taman Nasional, berhubung saya perempuan satu-satunya di antara bapak-bapak PNS, rasanya tidak mungkin untuk tidur bersama mereka di mess pegawai, maka dari itu saya diperbolehkan tinggal di mess Kepala Balai yang memang jarang sekali ditempati karena beliau lebih sering bertugas di Salemba.

Bahagianya saya saat itu, tidak perlu keluar uang yang cukup banyak untuk menyewa tempat tinggal. Dan juga tidak perlu tidur di emperan masjid, hehe. Rumah yang saya tinggali lebih besar dari rumah lainnya. Yaiyalah, punya Kepala Balai, gitu. Gak deng, punya negara. Ya gitulah, intinya rumah itu terlalu besar untuk ditempati saya seorang diri. Rumah Kepala Balai terdiri atas ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, dan kamar tidur. Pertama kali memasuki rumah tersebut tentunya saya langsung menuju kamar tidur sebelum berkeliling ke ruangan lain. Ya, kamar tidur yang gelap dan lembab, karena lama tidak dtempati, menyambut kedatangan saya. Kasur kapuk tanpa dipan dan sprei, yang warnanya sudah berubah menjadi coklat, akibat dimakan waktu. Itu bukanlah masalah, saya membawa sarung yang bisa digunakan sebagai alas pengganti sprei.

Namun masalah muncul saat saya menekan tombol lampu. Tidak ada cahaya yang muncul. Ditambah dengan posisi kasur yang ternyata menghadap langsung ke lemari dengan cermin yang besar, yang dapat memantulkan bayangan isi kamar dari sudut manapun. Sebelum bulu kuduk saya semakin berdiri, secara refleks saya membuka tirai jendela yang berada di pojok kamar, dengan tujuan mengatasi keremangan yang membuat saya bergidik. Ya, jendela satu-satunya di kamar itu menghadap langsung ke sebuah pohon pisang di lahan yang juga tidak memiliki sumber cahaya.

Yak, terima kasih. Tidak perlu repot-repot, saya tidak akan menggunakan kamar itu. Untungnya saya menemukan matras, yang segera saya gelar persis di luar pintu kamar, tempat televisi dan meja makan berada. Dalam hati saya bersorak, asik nih bisa sambil nonton tv biar gak sepi-sepi banget. Cobaan selanjutnya justru setelah saya menekan tombol on, dan menemukan semut unjuk rasa di sana. Akhirnya saya memutuskan berkeliling memeriksa ruangan lainnya, barangkali ada lagi benda-benda tidak berguna yang dapat saya temukan. Kran air menyala, airnya bersih, toilet berfungsi, lampu-lampu lain juga masih berguna. Syukurlah.

Saat itu saya rasa cukup, hingga akhirnya malam hari tiba, dan saya menemukan bahwasannya lampu ruang tamu yang luput dari perhatian saya siang tadi ternyata tidak berfungsi. Satu-satunya lokasi yang pas untuk meletakkan matras adalah di depan pintu kamar, yang juga berbatasan langsung dengan ruang tamu yang gelap gulita itu. Pemandangan saya memang bukan pohon pisang lagi, tetapi sofa tua yang kosong di ruangan yang gelap. Ditambah dengan sumber daya listrik Pulau Pramuka yang saat itu sedang terganggu, mungkin karena cuaca buruk. Listrik padam tiba-tiba merupakan hal yang harus dihadapi selanjutnya.

Kengerian bukan hanya berakhir di sana. Satu-satunya steker listrik yang berfungsi, ya di ruang tamu yang gelap itu, yang mau tidak mau menjadi tempat saya mengisi daya baterai peralatan elektronik. Mau tidak mau saya harus duduk di atas sofa tua itu, berkawan dengan gelap, berjam-jam, untuk sekedar berselancar di dunia maya demi mengenyahkan kesepian.

Berkawan dengan bapak-bapak tidaklah lengkap tanpa adanya keisengan yang menjadi bahan hiburan mereka. Sebagai anak baru, tentunya saya sering dijejali dengan berbagai cerita mistis, yang entah mereka karang sendiri atau memang benar-benar terjadi. Tanpa belas kasih, mereka dengan sukarela menghujani saya dengan berbagai kisah. Mulai dari mesin fingerprint yang tengah malam berteriak "Coba Lagi!" berkali-kali, tanpa ada yang menyentuhnya. Sebenarnya sih ada, tetapi tentunya sidik jarinya tidak terpindai, lha wong nggak ada jarinya malah, hahaha. Kisah lainnya adalah tentang segerombolan 'anak-anak' yang setiap malam membuat kegaduhan seperti sedang bermain bola dan berlarian di dalam ruangan kantor. Dan yang paling epic, seorang pegawai, sebut saja Agus, mengaku sering melihat seseorang yang mengintip dari TIRAI JENDELA RUANG TAMU TEMPAT SAYA NGECAS TIAP MALEM. THANKS.

Duh, jujur saya merinding lagi saat menulis ini.

Berbekal ketidak-punya-an uang lebih untuk mencari tempat tinggal yang lebih 'wajar', saya berusaha mengabaikan cerita-cerita itu. Keimanan saya nampaknya meningkat pesat saat itu. Setiap selesai sholat saya membaca Al-Qur'an, demi mengusir hawa-hawa dingin tidak wajar yang selalu menggerayangi. Setiap mau tidur, saya tidak lagi mendengarkan lagu-lagu pop kesukaan saya, melainkan lantunan murrotal. Hehe. Jadi harus digerayangi setan dulu ya baru rajin ngaji? *geplak pala sendiri*. Jadi, senjata yang saya pakai saat tidur selain sarung adalah, Al-Qur'an di sebelah kanan kepala saya, headlamp yang tentunya saya pakai, jaga-jaga kalau tiba-tiba mati lampu, dan telinga yang tidak lepas dari lantunan ayat suci. Ya, saya tidur dengan headlamp terpasang di kepala.

Untungnya semua kengerian itu hanya berlangsung selama 7 hari, saat itu ada 5 mahasiswa yang datang dan kami diperkenankan untuk tinggal bersama di mess tamu. Tunggu kelanjutannya ya!

No comments:

Post a Comment