Berpuluh Jumat berlalu. Datang suatu Jumat cerah di bulan
Juli, kali ini berbeda. Kacamata berbingkai hitam itu tidak lagi biasa. Ia bernyawa.
Tiba-tiba aku ingin hari Jumat. Aku rindu hari Jumat. Menanti
Jumat tidak pernah semenyenangkan ini. Se-tidak-sabar ini.
Tujuh hari dalam satu pekan. Dua puluh empat jam dalam satu
Jumat. Sedetik kelebat bayangmu sangatlah berarti untukku.
Jumat selanjutnya, aku hanya bisa berlindung di balik dinding
abu. Dengan tatapan menggebu.
Jumat berikutnya. Kita bertatap, kita bersapa. Dalam acuhmu,
aku sekarat.
Jumat-jumat lainnya, tetap sama. Aku tenggelam dalam usahaku
mencuri perhatianmu, di antara serakan percakapan kita yang menggantung.
Pernah suatu kali takdir membawa kita pada Senin yang dingin,
seperti pertemuan singkat kita yang aku sengajakan, yang aku ada-adakan.
Pada Selasa yang taksa, seperti sapamu yang menggoyahkan
pengabaianku, mengenyahkan perasaan ini.
Pada Rabu yang kelabu, seperti kehadiranmu yang tanpa
permisi, di tengah-tengah usahaku melupakanmu.
Pada Kamis yang manis. Semanis senyummu yang terselip di
antara percakapan singkat kita yang tak pernah habis ku nikmati. Manis dan
adiktif.
Tapi Jumat tetaplah favoritku. Jumat terakhir, saat bahagiaku
persis seperti kopiku, meluap. Menemani malam kita yang dingin dan berangin. Di
tengah-tengah percakapan lewat tengah malam kita, aku temukan lagi indahmu,
laki-laki hari Jumat.
Aku temukan lagi diriku yang ternyata masih terjerat ulas
senyum di bibir tipismu, wahai laki-laki hari Jumat.
wow ..... wahai laki laki hari jumat, sadarlah.....ada wanita yang terpikat, inginkan kau mendekat, dekat yang tanpa sekat.
ReplyDeleteAduh mak Tari~~
Delete