Februari
ini tepat 3 tahun kita mengukir memori di antara debur ombak Pulau Pramuka. 30
hari, yang dilebih-lebihkan, tinggal bersama kalian aku belajar apa itu
toleransi yang sesungguhnya. Teori yang telah aku dapatkan di bangku sekolah
selama bertahun-tahun, kini dapat aku pahami seutuhnya.
Toleransi
adalah saat kau, Ira dan Safrina, mengecilkan suara film yang sedang kalian
tonton, tanpa permintaanku, saat aku menggelar sajadah untuk ibadah wajibku.
Toleransi
adalah saat aku menunggu lebih dari dua menit, mendengarkan dengan teguh alunan
doa dan puja-puji yang menguntai panjang, untuk segenggam kehangatan saat makan
malam yang sederhana.
Toleransi
adalah saat kau, Immanuel, mengucapkan selamat saat Hari Kemenangan-ku tiba,
yang tanpa pernah kau permasalahkan karena aku hanya bisa membalasnya dengan
doa-doa baik yang terus mengalir, bukan dengan ucapan selamat yang sama saat
Hari Raya-mu.
Toleransi
adalah saat aku bersimpuh melantunkan ayat demi ayat, dan kalian, Ira dan
Safrina, menundukkan kepala dengan tangan yang tergenggam dan kitab suci di
pangkuan, di ruangan sempit itu kita bersama memecah keheningan fajar bahkan
sebelum matahari menampakkan sinar terangnya.
Aku
rindu, rindu saat kita ber-enam duduk di tepian dermaga, dengan gitar di
pangkuan Rasi, kita melantunkan lagu-lagu indah di tengah gemuruh angin dan
ombak laut yang saling beradu.
Apa
kabar kau, Fahmi? Gelegar suaramu yang setiap pagi membuat kami terlonjak dari
mimpi, masih jelas bergema di telingaku.
Hanya
laut dan darat yang dapat memisahkan kita.
Bukan
lagi perihal keyakinan siapa yang paling benar.
Melainkan,
bagaimana menjalankan dengan baik apa yang sudah kita yakini.
Miss you much, guys.
Miss you much, guys.
Salam hangat dari Pulau
Jawa.
No comments:
Post a Comment