Ini
bukan perihal keindahan fisik dan keberanian yang aku bawa darimu, Mamah.
Bukan
lagi perihal kecintaanku terhadap kopi, bersin yang menggelegar, dan buruknya
tulisan tangan yang aku bawa darimu, Ayah.
Ini
perihal bagaimana kalian membentuk diriku sekuat ini.
Sebagai
anak pertama, bukanlah mudah bagiku untuk menerima saat-saat di mana aku masih diharuskan
belajar giat walau IPK-ku sudah paling tinggi di antara teman-teman sekelas,
sementara adikku kau hadiahkan sepeda untuk merayakan kenaikan peringkatnya
dari 15 menjadi 10 besar.
Tidaklah
mudah saat aku membantu adikku yang paling besar mendaftarkan dirinya di
universitas pilihannya sendiri, sementara diriku masih mengubur dalam-dalam
impianku karena harus bersekolah di tempat yang sudah kau pilihkan untukku,
Ayah.
Apakah
mudah bagiku, saat harus berbagi makanan mewah demi menyenangkan adikku yang
sedang pulang dari perantauannya, sementara aku pun seringkali merasa bosan
dengan makanan yang aku temui setiap harinya di pedagang sekeliling asramaku,
Mamah?
Aku
iri, pada awalnya. Namun kini aku menyadari, semua itu demi membentuk pondasi yang
kuat dalam diriku.
Aku
belajar untuk tidak cepat puas, saat dirimu tidak menghadiri yudisium wisudaku
karena aku hanyalah wisudawati terbaik di jurusan, bukan terbaik di fakultas,
apalagi di universitas, Ayah.
Aku
belajar untuk tidak membebani orang lain, saat aku harus merelakan lebaran
tanpa baju baru, karena uang lebaranku masuk ke tabungan pribadi demi mengganti
ponselku yang sudah tidak layak, sementara adikku mendapatkannya cuma-cuma
sebagai hadiah kelulusannya, Mamah.
Ya,
aku yakin masih banyak pelajaran-pelajaran yang kalian tanamkan dalam diriku,
yang masih akan terkuak satu persatu seiring berkurangnya usiaku dan
bertambahnya kedewasaanku.
Maafkan
aku yang masih jauh dari ekspektasi kalian.
Sesungguhnya
aku masih terus berusaha mencari celah untuk membahagiakan kalian.
I
love you to the moon and back.
Love,
Your dearest daughter.
No comments:
Post a Comment