Menanamkan prinsip ketahanan pangan
dapat dilakukan semenjak dini. Sekolah merupakan salah satu wadah yang dapat
berperan dalam mengenalkan nilai-nilai ketahanan pangan, minimal untuk skala
rumah tangga. Sebagai masyarakat yang tinggal di perkotaan tentunya tidak mudah
menemukan lahan yang dapat digunakan untuk bercocok tanam, di tengah-tengah
maraknya kenaikan harga bahan pangan dan cuaca yang tidak menentu, yang kian
hari semakin menuntut masyarakat untuk mandiri dalam menghadapinya.
Memiliki
tempat tinggal di tengah perkotaan dengan sedikit bahkan tidak adanya lahan
yang dapat ditanami tentunya menjadi kendala dalam mengaplikasikan konsep
ketahanan pangan secara mandiri. Namun, semakin berkembangnya teknologi,
semakin banyak pula pilihan yang ditawarkan untuk memaksimalkan penggunaan
lahan yang kecil untuk bercocok tanam. Salah satu contohnya adalah pertanian
hidroponik, yang juga dapat dikombinasikan dengan vertical garden. Selain
medianya yang tidak lagi menggunakan tanah, melainkan air, pertanian hidroponik
juga dapat dilakukan secara vertikal sehingga tidak memerlukan lahan yang luas
untuk mengaplikasikannya.
SMP Islam Mentari Indonesia yang berlokasi di Bekasi
misalnya, telah menerapkan praktik pertanian hidroponik dan organik kepada
siswanya sejak 2016. Keterampilan yang juga mendukung timbulnya jiwa
entrepreneurship ini dapat dijadikan sebagai dasar-dasar dalam menerapkan
konsep ketahanan pangan skala rumah tangga. Siswa diajari bagaimana bercocok
tanam, mulai dari pengenalan jenis-jenis biji, penyemaian, pindah tanam, panen,
hingga tindakan pascapanen yang juga termasuk menjual produk-produk pertanian
mereka secara langsung. Selain dibekali dengan kemampuan praktik pertanian,
pengetahuan siswa juga diimbangi dengan adanya pengamatan pertumbuhan tanaman,
seperti pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun yang tumbuh, jumlah batang, yang
tentunya memiliki hasil berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisiologis dari
individu tanaman masing-masing. Siswa diajak untuk mengerti teori dan
membuktikannya di lapangan secara langsung melalui praktik.
Sebagian besar
siswa sebelumnya tidak mengetahui bahwasanya sayuran hijau yang selama ini
disajikan oleh ibu mereka ternyata berasal dari sebuah biji yang sangat kecil,
bayam misalnya. Mereka tentunya merasa excited saat mengenal jenis-jenis biji
sayuran hijau seperti sawi caisim, sawi pakchoy, kangkung, seledri, bayam, dan
selada. Hal ini yang membuat proses penyemaian menjadi menyenangkan. Rasa
penasaran mereka terhadap hal baru yang tidak mereka temui sebelumnya.
Jenis-jenis sayuran yang menurut mereka baru seperti bayam merah, bayam
pelangi, dan selada merah juga semakin membuat rasa ingin tahu mereka
bertambah. Belum lagi dengan metode penyemaian dalam pertanian hidroponik yang
berbeda dengan pertanian yang biasa mereka temui, yaitu menggunakan media
rockwool, bukan lagi tanah.
Kegembiraan mereka semakin terlihat tatkala 5-7
hari setelah penyemaian, saat biji-biji telah berkecambah dan muncul beberapa
helai daun, yaitu saatnya untuk dipindahkan ke media yang lebih besar. Siswa
menggunakan botol-botol plastik bekas kemasan air mineral seukuran 1.5 L yang
telah dipotong dan dirangkai untuk mendukung pertumbuhan tanaman hidroponik
hingga masa panen. Selain menggunakan media berupa botol plastik bekas dan kain
flanel sebagai sumbunya, siswa juga menggunakan baskom sebagai media tanam
hidroponik. Penggunaan dua metode yang berbeda ini bertujuan agar imajinasi
siswa tidak dibatasi dalam menciptakan inovasi pertanian hidroponik di rumah
masing-masing.
Keterampilan lain yang
juga ditanamkan adalah pengamatan kondisi tanaman terkait dengan pertumbuhan
yang diamati melalui tinggi tanaman dan jumlah daun yang diukur setelah
perkecambahan. Siswa dibekali dengan pengetahuan dasar mengenai fisiologi
tanaman dengan membandingkan masing-masing individu tanaman yang tentunya
berbeda. Materi yang disampaikan tentunya sudah disesuaikan dengan kemampuan
daya tangkap siswa SMP, yang juga semakin dimudahkan dengan adanya pengamatan
langsung terhadap objeknya, yaitu tanaman.
Setelah melakukan pindah tanam,
tentunya siswa menunggu hingga masa panen tiba, yang berbeda tergantung dari
masing-masing jenis tanaman. Di sela-sela menunggu panen, siswa mulai menyemai
kembali tanaman yang baru sehingga didapatkan hasil yang berkelanjutan. Adapun
ketika masa panen tiba, siswa mempelajari bagaimana melakukan tindakan
pascapanen hingga tanaman layak untuk dijual. Proses distribusi atau penjualan
hasil panen sayuran hijau hidroponik juga dilakukan langsung oleh siswa. Sejauh
ini, distribusi yang dilakukan masih dalam lingkup orangtua murid, seperti
contohnya siswa menjual langsung kepada orangtua murid yang sedang menjemput
putra-putrinya. Juga mengikuti event bazaar yang diadakan sekolah ketika
menyelenggarakan open house, yang membuat siswa melakukan penjualan langsung
kepada tamu dari sekolah lain.
Selain bertani secara hidroponik, siswa juga perlu
dikenalkan bagaimana bercocok tanam menggunakan media tanah. Tanaman yang
ditanam dapat berupa cabai rawit, cabai keriting, terong hijau, terong ungu,
dan tomat. Media yang digunakan merupakan tanah dengan campuran pupuk kompos
dan sekam, yang mudah didapatkan di kios-kios tanaman yang berada di tepi
jalan, atau dapat dibuat sendiri. Proses yang dilakukan tidak jauh berbeda
dengan pertanian hidroponik, mulai dari menyemai langsung dari biji hingga
memanen hasilnya. Dari sini, siswa belajar untuk tidak takut kotor dan lebih
menghargai kerja keras petani.
Pertumbuhan tanaman-tanaman organik yang
mayoritas adalah tanaman berbuah tentunya memerlukan waktu yang lebih lama bila
dibandingkan dengan sayuran hijau. Hal ini membuat siswa mengerti arti
kesabaran dalam merawat dan mengamati tanaman dari biji, kecambah, kemudian
berbunga hingga menghasilkan buah. Dengan praktik langsung yang mudah
diaplikasikan, diharapkan siswa dapat menerapkannya di rumah masing-masing
dalam menghadapi tingginya harga bahan pangan belakangan ini.
No comments:
Post a Comment