Tuesday 24 January 2017

The 'Perks' Of Being An Overthinker

Foto: 9gag.com
Menjalani hidup sebagai seorang yang berpikir terlalu berlebihan tidaklah mudah. Saya selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan, kecemasan, dan hal-hal paranoid lainnya yang sebetulnya tidak akan pernah terjadi. Hal yang sederhana selalu menjadi rumit, walaupun pada akhirnya saya berhasil melewati semua itu. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kejiwaan, saya mulai mendapati bahwasannya overthinking memiliki dua sisi, positif dan negatif, setidaknya itu yang saya rasakan. Tulisan ini bukan untuk membedah overthinking dari sisi psikologis, atau ilmu apapun. Murni hanya sebuah ungkapan dari apa yang saya alami selama ini.

Entah sejak kapan saya 'menderita' kecemasan berlebih ini (saya tidak tahu apa istilahnya dalam ilmu kejiwaan). Mungkin sejak saya mulai dapat berpikir dan mengingat. Banyak hal yang saya lewati dalam perjuangan saya melawan gejolak yang selalu menggelayuti pikiran saya, karena tidak semua orang merasakan hal yang sama dengan saya. Dan, yah, seperti yang kita semua ketahui, minoritas akan selalu tunduk kepada mayoritas. Biar bagaimanapun, saya yang harus mengikuti sistem, bukan sebaliknya. Dan itu berat. Sangat berat. Melawan diri sendiri untuk berani melawan orang lain. Bukan perkara mudah.

Tulisan ini akan menjabarkan hal-hal apa saja yang saya dapatkan selama berjuang sebagai seorang overthinker dalam lingkungan pada umumnya. Tidak melulu persoalan negatif yang saya hadapi, namun ada juga hal positif yang dapat saya pelajari. 

1. Susah Tidur
Bukan tidak mungkin seorang overthinker juga memikirkan segala hal, yang sejatinya tidak perlu dipikirkan, di saat dirinya harus beristirahat. Bahkan yang saya rasakan adalah, otak saya berkali-kali lipat lebih aktif ketika tubuh saya sudah berada di atas tempat tidur, bersiap untuk tidur. Semakin rapat saya memejamkan mata, semakin keras otak saya berpikir hal-hal yang tidak perlu, yang seringkali membawa saya terjaga hingga esok hari. Tidak peduli seberapa lelah tubuh saya. Terutama jika keesokan harinya ada agenda besar yang akan saya jalani. Contohnya, sidang skripsi. BAHKAN MENGAWAS UJIAN.

Pertama kali saya diminta untuk membantu dosen saya dalam menyelenggarakan UAS bagi para mahasiswanya, pikiran saya berkecamuk hebat, dan malamnya saya tidak bisa tidur. Saya khawatir bangun terlambat, atau saya takut ujiannya tidak berlangsung dengan lancar karena satu dan lain hal, dan hal-hal tidak perlu lainnya seperti jika jerapah berdasi maka ia akan memakainya di leher bagian atas atau leher bagian bawah. Semakin saya paksa untuk tidur, semakin saya tidak bisa tidur, disusul dengan semakin sedikit waktu tidur yang tersisa, membuat saya semakin takut jikalau keesokan paginya bangun terlambat. Ya, malam itu saya hanya berputar-putar dalam lingkaran setan yang membentuk lingkaran mata esok harinya.

2. Detail Oriented
Overthinking tentunya tidak jauh dari memikirkan tentang detail, apa pun itu. Saya terbiasa merencanakan semua hal yang akan saya lakukan secara detail. Bahkan tak jarang, ketika orang lain memiliki rencana A dan B, saya sudah mempersiapkan rencana Z. Terlihat sempurna, cerdas, jenius, atau apalah sebutannya. Tapi apa yang saya rasakan jauh dari kata membanggakan. Lelah. Sangat lelah. Tapi begitulah cara kerja otak saya. Kekhawatiran dan kecemasan yang muncul membuat saya dipaksa untuk memikirkan peluang-peluang cadangan yang sejujurnya, tidak pernah terjadi. Tak jarang saya merasa tidak mampu membendung semua kekhawatiran itu, hingga menangis menjadi jawabannya.

Tidak sedikit orang yang 'dirugikan' akibat sikap saya yang seperti ini. Sebut saja sahabat terdekat saya, dan someone that used to be my other half (😋😋). Mereka sudah paham betul bagaimana menghadapi gejala-gelaja overthinking yang nampak pada diri saya. Ketika orang lain meremehkan dengan kalimat "Ah, lo aja yang lebay, gak bakalan kejadian kayak gitu!", mereka mampu hadir dengan pesan yang sama seperti orang lain, namun dalam bentuk kalimat yang berbeda. Mereka sudah hafal betul tingkah saya yang selalu menyangkal kalimat-kalimat penenang yang mereka uraikan jika saya sedang "kumat".

Namun tidak selamanya poin ini berdampak negatif terhadap kehidupan saya. Memiliki rencana A sampai Z membuat saya cepat dan tanggap dalam menghadapi segala kemungkinan yang penuh dengan ketidakpastian. Walaupun peluangnya hanya 1:100. Mungkin 1000. Entahlah. Saya akan merasa tenang jika mengantongi segala detail dan kemungkinan-kemungkinan buruk serta solusinya dalam menghadapi hal-hal yang akan saya jalani dalam hidup saya.

3. Perfeksionis
Berorientasi pada detil tidak lepas dari menuntut hasil yang sempurna. Yang seringkali juga 'membunuh' saya secara perlahan. Saya memiliki standar-standar sendiri yang harus dipenuhi dalam melakukan sesuatu, terutama yang menuntut adanya sebuah hasil. Contohnya menulis. Passion saya dalam menulis sudah terbentuk sejak saya duduk di bangku sekolah menengah. Tetapi semua itu selalu pupus, tidak pernah selesai, dengan alasan yang beragam. Sebut saja ketika saya SMP, masalah EYD yang belum sepenuhnya dikuasai menghentikan kobaran ide dalam kepala saya. Saya berhenti menyalurkan tulisan saya hanya karena saya tidak siap menerima kritik apabila terdapat kesalahan EYD dalam tulisan saya. Kendala berikutnya saya temukan saat saya kuliah, hingga bisa dibilang saat ini. Banyak sekali draf-draf tulisan, bahkan kerangka novel fiksi yang terhenti di tengah jalan. Hanya karena saya tidak siap apabila tulisan saya suatu saat penuh kecaman akibat kurangnya referensi. Bahkan untuk menulis tautan ini, sudah terpikir sejak beberapa tahun yang lalu, namun saya terlalu takut dikritik oleh para ahli kejiwaan.

Contoh ringannya saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Seorang petugas laminating pernah merasa saya 'kerjai' karena saya memintanya untuk memotong dengan lurus hasil laminatingnya. Dan itu saya minta berkali-kali. Bukan karena saya ingin mengerjainya atau hal semacam itu, simply karena saya tidak mau hasil laminating dokumen saya kurang rapih. Padahal sejujurnya, tidak terlalu mencolok. Namun yang ada di pikiran saya saat itu adalah, saya tidak mau disuruh me-laminating ulang oleh pimpinan, gara-gara hasilnya kurang rapih. Padahal beliau juga pasti tidak menyadari hal demikian. Begitulah.

4. Sulit Bekerjasama
Poin ini ada kaitannya dengan poin sebelumnya, di mana tuntutan saya atas kesempurnaan membuat saya kurang mampu mempercayakan sesuatu kepada orang lain. Hal ini tentunya juga dapat membunuh saya secara perlahan. Mungkin ini adalah kendala paling besar yang saya hadapi, terutama setelah saya berkecimpung dalam dunia kerja. Selama bersekolah, saya bukannya tidak aktif dalam organisasi yang melibatkan kerjasama di dalamnya. Namun setelah saya memasuki dunia kerja, organisasi yang nyata terpampang di sana. Orang-orang baru dengan karakter yang jauh lebih beragam, saya temukan di dunia kerja.

Don't tell me what to do, or do it yourself. Itulah 'mantra' yang biasanya saya ungkapkan sehari-hari. Bukannya saya tidak mau mendengarkan saran dari orang-orang yang telah berpengalaman. Tapi, saya punya cara dan standar sendiri yang harus dipenuhi. Sebisa mungkin saya tidak membebani orang lain, yaitu dengan mengerjakannya semua sendiri. Karena orang lain merasa bahwasannya cara saya ini ribet. Terlalu detail. Ada cara yang lebih sederhana (menurut mereka), yang menurut saya justru tidak sesuai dengan standar. Seringkali hasil kerja orang lain saya rombak ulang, karena tidak sesuai dengan standar yang saya punya. Hal inilah yang sedikit demi sedikit mengikis kewarasan saya.

Saya akan memilih tidak memimpin sama sekali atau memimpin dengan tangan dingin dalam sebuah proyek. Ya. Saya lebih baik menjadi 'pesuruh' dari pada harus menerima hasil kerja orang lain yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Atau sekalian saja saya menjadi pemimpin diktator, yang mana semua orang wajib mengikuti perintah saya. Dan, ya. Lagi-lagi overthinking yang menang, pilihan jatuh pada opsi yang pertama. Simple, karena saya tidak ingin makan ati 😋.

5 comments:

  1. kasian mbak satu ini sampai tertekan. semangat terus ya mbak. semoga kerjaannya tidak membebani pikirannya lebih jauh lagi. doa saya menyertai

    ReplyDelete
    Replies
    1. yang penting #MerendahUntukMeroket ya Mbak.

      Delete
    2. wah mbak kayak temen sekelas saya ini ada yang pake kata-kata serupa. jangan-jangan.. mbak........

      Delete
  2. Mba kapan update vlog?

    ReplyDelete