Hai, jangan takut dulu, izinkan aku berbagi sedikit kisah hidupku.
Namaku
Sharkie, aku adalah seekor hiu yang tinggal di lautan Indonesia, sangat
dekat dengan kalian! Aku tinggal di lautan bersama dengan
saudara-saudaraku, contohnya Paman Lewini, yang memiliki kepala dengan
bentuk menyerupai martil. Juga Si Kembar Blacky dan Whitty, yang
seringkali tertukar karena bentuk tubuh mereka yang sangat mirip, hanya
warna pada sirip mereka saja yang berbeda yaitu hitam dan putih. Ukuran
tubuhku cukup besar, dapat mencapai 1,8 meter lho! Tetapi jangan kaget,
saudaraku ada yang berukuran kecil juga lho, Si Imut Pygmy yang hanya
seukuran 22 sentimeter. Ada juga Kakek Rhincodon, tubuhnya yang sangat
besar membuat dirinya mirip dengan tetangga kami, Keluarga Paus. Tenang,
Kakek Rhincodon tidak galak kok, ia vegetarian.
Aku
seringkali merasa sedih saat mendengar bahwa saudara-saudaraku kembali
menyerang manusia yang sedang bermain di laut. Hal itu membuat kami
dibenci dan ditakuti, padahal kami sama sekali tidak menyukai daging
manusia, rasanya aneh dan hambar. Manusia bukan makanan kami. Makanan
utama kami adalah ikan-ikan yang lebih kecil, penyu, dan cumi-cumi. Aku
pernah bertanya kepada Mako, saudaraku yang pernah menyerang manusia.
Mako bilang, dia tidak sengaja menyerang manusia, karena ia mengira
manusia yang sedang bersantai di atas papan seluncurnya itu adalah penyu
laut, karena bentuknya mirip jika dilihat dari bawah permukaan laut.
Debur ombak dan air laut yang keruh akibat pencemaran juga seringkali
mengganggu pengelihatan kami dalam mengenali mangsa.
Asal
kalian tahu saja kawan-kawan, serangan hiu kepada manusia sangatlah
jarang terjadi. Biasanya hanya terjadi sebanyak 3-4 kali dalam satu
tahun. Namun yang terjadi pada kami para hiu adalah sebaliknya. Manusia
memburu kami besar-besaran, lebih dari 100 juta ekor hiu diburu setiap
tahunnya. Musuh kami bukanlah paus atau predator lain yang memangsa
saudara-saudara kami setiap harinya, tetapi manusia. Manusia memburu
untuk mengambil sirip kami, untuk dijadikan sup, yang harganya bisa
mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu mangkuknya. Harga yang mahal itu
tidak sebanding dengan kehilangan yang kami rasakan di lautan. Ibuku
dan para Ibu Hiu lainnya jarang sekali melahirkan adik-adik kami, karena
masa mengandung yang cukup lama yaitu hingga 24 bulan, membuat populasi
kami semakin berkurang setiap harinya.
Kami
bukanlah monster laut yang perlu ditakuti apalagi dibunuh. Keberadaan
kami di lautan sangatlah berguna untuk menjaga keseimbangan ekosistem
laut, agar ketersediaan sumber daya laut selalu berlimpah. Itu berarti
jika hiu punah, maka para ikan, cumi-cumi, dan biota laut lainnya akan
berkurang, yang juga akan mempengaruhi kehidupan manusia yang selama ini
banyak bergantung dari sumber daya laut. Hiy, seram bukan? Bayangkan
tidak ada lagi ikan goreng yang asam manis yang dimasak oleh Ibu kalian.
Tidak ada lagi kerang-kerangan yang biasanya kalian rebus saat perayaan
malam tahun baru.
Lantas,
bagaimana caranya kalian menyelamatkan kehidupan kami? Mudah sekali.
Tidak perlulah mengikuti tren memakan sup sirip hiu, yang katanya
menyehatkan itu. Ku beritahu rahasia ya, ada lebih banyak khasiat dan
kandungan nutrisi yang baik pada tetanggaku, Si Gemuk Tuna. Hihi.
Sesungguhnya kami adalah sahabat kalian, kami menjaga lautan agar
kebutuhan manusia akan sumber daya laut tetap terpenuhi.
Haruskah kita yang takut dengan hiu atau hiu yang takut dengan kita?
No comments:
Post a Comment