Kisah
ini berlangsung tepat tiga tahun yang lalu, Januari 2014. Saat itu
usiaku belum genap 20 tahun, masih menyandang status mahasiswa semester 5
di Fakultas Sains dan Teknologi, jurusan Biologi. Liburan semester
setelah UAS tentunya menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu bagi
sebagian besar mahasiswa. Tetapi tidak bagiku, karena liburan kali ini
adalah jadwal kami, para mahasiswa semester 5, untuk melaksanakan PKL,
mengaplikasikan ilmu yang telah kami dapatkan di kelas dan mengenal
bagaimana dunia kerja sesungguhnya.
Sedikit kilas balik ke beberapa bulan sebelumnya, di mana sebagian besar kawan-kawanku sudah mengirimkan lamaran ke instansi yang mereka tuju. Sedangkan aku, masih belum tahu apa yang diinginkan, ilmu apa yang ingin dikuasai, tempat kerja seperti apa yang ingin aku jadikan masa depan. Bidang laboratorium? Big no. Aku amat tidak menyukai bekerja di laboratorium. Selain karena membutuhkan ketelitian, juga memerlukan kesabaran yang tinggi. Juga kemampuan analisis yang, nampaknya hanya dikuasai oleh kawanku yang pintar-pintar. Sebenarnya banyak sekali pilihan instansi yang menawarkan tempat untuk mahasiswa Biologi yang magang, namun selalu muncul banyak batasan dalam diriku, seperti, "Ah, jauh. Macet. Males gue desek-desekan di bis.", atau "Ah jauh, harus ngekos, duit lagi.", atau "Ah birokrasinya ribet, kerjaannya juga ribet, males ah.", atau "Ah gue ga minat ama bidang itu." dan berbagai batasan lainnya yang akhirnya membawaku kepada kekosongan pilihan yang hakiki.
Sedikit kilas balik ke beberapa bulan sebelumnya, di mana sebagian besar kawan-kawanku sudah mengirimkan lamaran ke instansi yang mereka tuju. Sedangkan aku, masih belum tahu apa yang diinginkan, ilmu apa yang ingin dikuasai, tempat kerja seperti apa yang ingin aku jadikan masa depan. Bidang laboratorium? Big no. Aku amat tidak menyukai bekerja di laboratorium. Selain karena membutuhkan ketelitian, juga memerlukan kesabaran yang tinggi. Juga kemampuan analisis yang, nampaknya hanya dikuasai oleh kawanku yang pintar-pintar. Sebenarnya banyak sekali pilihan instansi yang menawarkan tempat untuk mahasiswa Biologi yang magang, namun selalu muncul banyak batasan dalam diriku, seperti, "Ah, jauh. Macet. Males gue desek-desekan di bis.", atau "Ah jauh, harus ngekos, duit lagi.", atau "Ah birokrasinya ribet, kerjaannya juga ribet, males ah.", atau "Ah gue ga minat ama bidang itu." dan berbagai batasan lainnya yang akhirnya membawaku kepada kekosongan pilihan yang hakiki.
Hingga pada akhirnya, salah satu teman sekelasku nyeletuk "Lo kenapa gak PKL di TN aja? Lo demen laut kan?". Kemudian aku terdiam. Bukan, bukan karena mendapatkan ide. Namun batinku berteriak kembali, "Yaelah, laut lagi. Ntar gue item. Fieldtrip 3 hari aja gosong. Gimana PKL sebulan??".
Namun entah kenapa ucapan temanku kembali terngiang-ngiang di kepala,
hingga akhirnya aku memutuskan untuk mencoba peruntungan di Taman
Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) Wilayah III, yaitu Pulau Pramuka.
Berbekal bantuan dari senior dan seorang teman, pada akhirnya segala
urusan birokrasi selesai (yang terbilang ribet, karena kantor BKSDA
berada di Salemba, sedangkan rumahku di Bekasi, dan kampusku di
Ciputat).
Tiba
akhirnya aku harus berangkat, 21 Januari 2014. Pukul 08.00 aku sudah
berada di Muara Angke, tempat kapal-kapal kayu bersandar. Saat itu
sebenarnya aku sudah terlambat, karena biasanya kapal berangkat pukul
07:30. Hujan deras menghambat perjalanan daratku menuju Muara Angke.
Bersama dengan senior dan teman (Reza dan Ismail), kami langsung
memasuki kapal yang menuju Pulau Pramuka. Satu jam. Dua jam. Tiga jam.
Kami menunggu, tanpa kepastian. Rintik hujan tidak sedikitpun mereda
sedari kedatangan kami. Kapal-kapal nelayan pemburu cumi-cumi telah
berdatangan memenuhi dermaga, hingga kapal kami terjebak. "Ah balik dah gue ini mah".
Batinku kembali bergejolak. Langit tidak menunjukkan senyumnya hingga
pukul 12 siang, begitu pun wajahku. Tiba-tiba kapal bergetar, suara
meraung mesin memekakkan telinga. Tanda perjalananku dimulai.
Lima
belas menit. Tiga puluh menit. Seiring melajunya waktu, semakin
bertambah rasa penyesalanku. Bagaimana tidak? Ternyata alasan nahkoda
menunda keberangkatan kami bukan hanya soal hujan! Juga kondisi ombak
yang betul-betul tidak bersahabat. Aku takut, sangat takut. Ombak
bergulung sangat tinggi, bahkan bisa terlihat dari jendela kapal yang
menurutku, cukup tinggi. Kapal kami terombang-ambing di lautan lepas
tanpa penghuni. Rasa-rasanya seperti naik wahana Kora-kora. Aku pun
tidak kuat lagi duduk, akhirnya memposisikan diriku untuk berbaring.
Kapal seakan mau terbalik. Tak henti hatiku mengucap gema takbir
mengingat Tuhan (giliran gini aja, inget, hm). Bukan hanya karena
aku takut mati, tapi juga aku membawa berbagai peralatan elektronik,
seperti laptop, ponsel, dan kamera digital, yang tentunya akan rusak
total jika terkena air laut. Ya, jujur saja prioritasku saat itu memang
terkesan duniawi. Hehe.
Tiga jam sudah kami terombang-ambing di lautan, namun daratan tak juga menampakkan dirinya. Aku sudah jackpot 2
kali, memuntahkan Nasi Kebuli bekal dari Ibu Ismail, yang kami makan
bersama selama menunggu keberangkatan tadi. Hal yang membuatku semakin
takut adalah, wajah Ismail yang terlihat sangat panik. Padahal yang aku
ketahui, ia jago berenang. Juga ucapan Reza yang dengan bangga
memamerkan apa yang ia lihat "Woy bangun deh! Lihat tuh ada angin muter-muter kayak tornado!". Ya. Terima kasih atas informasinya, Bung Reza.
Di tengah-tengah ketakutan kami, kapal tiba-tiba berhenti. "Yah mati dah gue nih"
batinku kembali berteriak. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan
menimpaku. Kali ini ketakutan yang ku rasakan lebih parah.
Terombang-ambing di atas ombak yang marah tanpa perlawanan. Kapal
terdiam beberapa menit. Ternyata sebuah kotak wadah ikan (yang biasa
digunakan untuk menyimpan ikan segar) jatuh ke laut. Lalu, byur!
Seseorang menceburkan dirinya untuk mengambil kotak itu. Tidak habis
pikir. Mempertaruhkan nyawa kami semua demi sebuah kotak. Namun aku
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain melantunkan doa yang semakin
panjang. Hingga beberapa menit kemudian, mesin kapal kembali menyala.
Pukul
17:00, kurang lebih 5 jam perjalanan melawan ombak ganas (normalnya 2,5
jam) aku kira berakhir. Nyatanya tidak. Kapal kami tidak bisa bersandar
di dermaga Pulau Pramuka, karena posisinya yang menghadap angin kencang
sehingga dapat meremukkan badan kapal besar yang berani menepi di sana.
Kapal akhirnya bersandar di dermaga Pulau Panggang, tepat di seberang
Pulau Pramuka. Ya, penyiksaan tidak hanya berhenti di sana. Aku masih
harus menaiki kapal ojek (kapal kecil) untuk sampai ke tujuan. Semakin
menyiksa tatkala bentuk kapal ojek yang kecil, mirip seperti sampan,
yang membuat aku semakin jelas melihat bagaimana keadaan laut saat itu.
Untunglah, kapal ojek yang lincah itu dapat dengan mudah menerjang ombak
sehingga aku bisa dengan selamat mencapai Pulau Pramuka.
Kemudian
aku beristirahat di sebuah warung yang berada di tepian laut Pulau
Pramuka, tidak jauh dari dermaga. Aku sudah kenal dengan pemilik warung
ini sebelumnya, Mang Oji dan istri. Langsung saja aku menenangkan diri
dengan segelas susu cokelat hangat, dan semangkuk mi rebus dengan telur
dan potongan cabai. Tak lupa aku segera mengisi daya ponselku yang sudah
habis selama di perjalanan tadi. Perjalanan yang tidak akan aku
lupakan. Perjalanan yang memulai 30 hari-ku selanjutnya di pulau ini,
Pulau Pramuka.
Ternyata apa yang aku khawatirkan di awal memang benar-benar terjadi.
Macet? Mending macet, kapal mau kebalik, iya!
Birokrasi ribet? Sebenarnya bukan ribet, tapi jauh dan bolak-balik yang bikin jadi ribet.
Ngekos? Pasti. Ya kali tidur di warung.
Eits, tenang. Semua itu akan terbayar nanti. Petualangan baru saja dimulai.
No comments:
Post a Comment