Saturday 16 May 2020

Covidiot: A More Dangerous Disease

 

Beberapa bulan yang lalu telah muncul istilah baru terkait dengan pandemi COVID-19, yaitu Covidiot. Menurut www.urbandictionary.com, Covidiot adalah:
"Someone who ignores the warnings regarding public health or safety.
A person who hoards goods, denying them from their neighbors.
"

Kurang lebihnya adalah mereka yang meremehkan dan mengabaikan peringatan yang berkaitan dengan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Perlu ditekankan di sini, menganjurkan untuk tidak panik bukan berarti meremehkan, ya.



Sebenarnya ada beberapa indikasi perilaku yang menandakan seseorang layak diberikan gelar Covidiot, tetapi saat ini saya hanya akan membahas perilaku yang berkaitan dengan sulitnya menahan hasrat untuk tidak keluar rumah kecuali untuk melakukan kegiatan yang darurat/penting.
Beberapa di antaranya yaitu:
  • Tidak mengindahkan physical/social distancing, pokoknya kopit ora kopit sing penting ngumpul. Perpisahan di McD Sarinah, misalnya.
  • Tidak atau terlalu menerapkan protokol perlindungan diri ketika keluar rumah. Iya, buat yang sebenarnya mampu beli masker tapi malas pakai masker, buat yang mampu beli sabun dan hand sanitizer tapi malas cuci tangan, atau yang kebangetan rajin belanja ke supermarket pakai APD.
Lantas, kira-kira apa sih penyebab orang kok bisa jadi Covidiot? Mereka tahu gak sih bahwa di luar sana masih ada orang yang MAU TIDAK MAU HARUS keluar rumah menjalankan KEWAJIBANNYA? Se-darurat itu kah nongkrong-nongkrong? Kali ini saya mencoba merasuki isi kepala mereka yang sama mbuh-nya dengan peraturan yang belakangan ini juga semakin gak jelas.

"Ah, kalau positif corona kan gratis ini biaya pengobatannya ditanggung negara."
Permisi, memang benar pengobatan bagi pasien positif corona akan ditanggung oleh negara sampai sembuh, bahkan kalau kebetulan dirawatnya di Wisma Atlit, panjenengan akan mendapatkan fasilitas setara apartemen dua kamar, juga makan dan minum yang terjamin setiap harinya. Enak bukan? Lho enak. Kalau gak percaya, cek aja (((room tour)))-nya di akun twitter @falla_adinda, salah satu dokter yang sampai saat tulisan ini dibuat, masih melakukan isolasi diri setelah berjuang selama beberapa pekan di Wisma Atlit. Sekalian lihat tuh, bagaimana dan apa yang dilakukan para tenaga kesehatan dan relawan di sana, per orang dalam sehari bisa megang 100an pasien bro, mana sambil puasa, pakai APD berat dan panas, mandi air dekontaminasi yang bikin kulit ngelupas. Gak ada enak-enaknya.

Juga, siapa yang bisa memastikan you keluar dari RS masih dalam keadaan hidup? Siapa yang bisa memastikan berapa banyak manusia lain yang tertular tanpa kamu sadari, dan siapa yang bisa jamin mereka bisa sembuh?

"Kalau sudah takdirnya mati, ya mati aja." atau "Ah, di rumah gak di rumah juga bakal tetep kena juga kan."
Agak susah untuk mengingatkan yang ini, kadang malah saya yang dianggap ngga percaya Tuhan dan takdir-Nya. Aduh, saya ngga akan bawa dalil-dalil di sini karena banyak yang lebih pintar dari saya, tetapi, sebagai sesama manusia, alangkah senangnya saya sedikit membuka pikiran teman-teman. Ya memang benar semua yang dijalankan manusia di muka bumi ini sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, termasuk kematian. Namun, bukankah kita diharuskan untuk melakukan ikhtiar terlebih dahulu?
Apa bedanya dengan sengaja melemparkan diri ke dalam kandang penuh dengan harimau lapar?
Lain cerita kalau sudah usaha, cuci tangan, jaga kesehatan dan kebersihan, menahan tidak keluar rumah kecuali untuk alasan darurat/kewajiban/pekerjaan, tapi masih kena juga, baru itu namanya takdir.

Lagian nih, maaf-maaf kata nih ya. Kita sih ngga masalah you mau positif kek, mau meninggal kek, asalkan yang kena ya kamu sendiri aja. Gak usah nularin ke orang lain, terutama yang lebih rentan. Gak usah nambah-nambahin pekerjaan tenaga kesehatan dan relawan yang sudah banyak. Singkatnya, kalau mau mati, mati sendiri aja deh gak usah ngajak-ngajak. Bisa gak?

"Corona kan self-limiting disease, alias bisa sembuh sendiri."
Begini saudaraku sebangsa dan setanah air. Pernyataan tersebut benar adanya, tapi juga tidak sesederhana itu dalam kenyataannya. Pertama, iya benar, secara garis besar tubuh kita akan memulihkan dirinya sendiri saat terjangkit penyakit yang disebabkan oleh virus. Tapi bukan berarti dibiarkan lalu secara ajaib akan sembuh sendiri, butuh kombinasi istirahat dan obat-obatan untuk meringankan gejala yang ditimbulkannya, sehingga tubuh akan lebih kuat untuk mendukung kerja antibodi lebih optimal dalam melawan si virus.

Lalu, bagaimana dengan COVID-19? Begini, COVID-19 ini termasuk virus jenis baru, vaksin belum ada, mutasi (perubahan sifat) si virus ini masih acak dan belum bisa ditebak kayak mood aku. Misalnya, pada si A, muncul gejalanya ringan, tidak menyerang organ vital, tapi kok di si B menyerang organ vital, si C malah sehat-sehat aja. Bingung kan? Memang begitu kenyataannya sekarang. Belum ada yang bisa menentukan ketika COVID-19 hinggap pada tubuh seseorang, akan bagaimanakah respon tubuh orang tersebut? Iya kalau mampu bertahan sampai bisa dirawat, dan sembuh. Kalau nggak? Apalagi untuk yang punya penyakit bawaan, tentu semakin besar risikonya. Maka dari itu, dibutuhkan perawatan yang sangat intensif apabila seseorang mengidap corona.

Ingat, dulu wabah flu butuh berapa tahun lamanya sampai manusia masa kini bisa santuy menghadapi flu? Ini corona belum ada satu tahun umurnya di dunia. Dulu wabah flu juga begini saat pertama kali kemunculannya di dunia, banyak memakan korban jiwa, sampai akhirnya saat ini kita kalau cuman flu doang aja masih disuruh masuk ama si bos.

"Aku sudah pakai masker, menerapkan protokol kebersihan, aku juga sehat, boleh dong nongkrong sama teman-temanku."
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan berkumpulnya puluhan, mungkin ratusan orang di McD Sarinah dalam rangka hari terakhir sebelum ditutupnya gerai tersebut, atas dasar KENANGAN. Atau yang baru-baru ini terjadi juga: NGABUBURIT SAMPAI JALANAN MACET.

Aduh pusing Chabelita, gak pengen marah-marah tapi gimana. Gini aja deh, Kakak punya pesan untuk kalian Adik-adikku tercinta: Kalian bayangin deh coba, gimana rasanya orang-orang yang di-PHK atau kehilangan pekerjaannya melihat kebodohan kalian di sana? Bagaimana rasanya orang yang mengalahkan kewajibannya untuk tetap tinggal di dalam rumah, kemudian melihat kalian berkumpul FOR THE SAKE OF KENANGAN, atau BOSAN???

Arab Saudi saja mengeluarkan larangan atau penangguhan ibadah umrah sampai batas waktu yang belum bisa dipastikan. Kongkow kamu lebih penting daripada umroh???
YA ALLAH. Ga boleh marah, lagi puasa.

Negara kita memang belum (atau tidak) menerapkan sistem total lockdown, yang mana kita gak bisa berbuat apa-apa dengan itu. Yang bisa kita perbuat adalah, kita bisa kan memilah-milah mana kegiatan di luar rumah yang darurat dan yang tidak? Gak bisa? Terus ngapain kamu ikut wajib sekolah 9 tahun?

Dan lagi-lagi, saya gak akan pernah bosan mengingatkan, siapa yang menjamin kamu tidak membawa oleh-oleh berupa COVID-19 di dalam tubuh kamu, hasil dari kumpul-kumpul gak pentingmu, yang kamu hadiahkan untuk orang tua di rumah?

"Anjuran untuk di rumah aja melanggar HAM dan kebebasan kita sebagai manusia!!!"
Sebenarnya sampai detik ini saya belum menemukan adanya gerakan yang menyerukan hal ini secara langsung di Indonesia, baru ada di Amerika. Mereka turun ke jalan, melakukan unjuk rasa kepada pemerintah, yang menyatakan bahwa larangan keluar rumah adalah membatasi kebebasan mereka. Bahkan mereka juga masih tetap menyelenggarakan pesta-pesta di pantai, dan perkumpulan-perkumpulan tidak penting lainnya, atas nama HAM. Sebelum ada yang beginian muncul di Indonesia, ada baiknya silakan Anda lihat statistik angka kasus positif dan kematian di Amerika. You're welcome.

"COVID-19 aDaLaH k0nSp1RaSi 3L1t 9LoBaL"
I have no words for this.

***
Baiklah, intinya semua akan bermuara pada: kemampuan rumah sakit menampung dan merawat pasien corona. Kamu tau gak, berapa persentase kematian tenaga kesehatan di Indonesia? Kasarnya ada 6 tenaga kesehatan yang gugur di setiap 100 kematian akibat corona. Belum lagi, semakin melonjaknya pasien corona yang harus dirawat, membuat banyak rumah sakit terpaksa menutup layanan kesehatan lainnya dikarenakan semua ruangannya sudah dipakai untuk menampung pasien corona.

Bayangin, ada orang tua yang perlu cuci darah, ada kakek-kakek yang perlu perawatan TBC, ada ibu hamil yang persalinannya harus melalui operasi caesar, ada banyak orang yang sekarang sedang menahan sakit gigi, sakit kepala, dan sakit-sakit lainnya karena tidak ada ruang untuk berobat.

Bayangkan jika semua orang punya pikiran seperti yang telah disebutkan pada poin-poin di atas, akan sepenuh apa rumah sakit? Dan jika rumah sakit over capacity, akan berapa banyak nyawa yang terlantar?
Pada akhirnya kita memang tidak tahu kapan pandemi ini berakhir, dan apakah dengan diam di rumah akan sepenuhnya menjamin kita tidak terjangkit corona? Memang tidak ada yang bisa menjamin, tetapi dengan kita memenuhi aturan tersebut, kita menjamin pasien corona ditangani dengan baik, sebisa mungkin tidak ada yang terlantar karena alasan rumah sakit penuh.

Untuk teman-teman yang beruntung diperbolehkan WFH, pergunakanlah kesempatan itu dengan baik, jaga kepercayaan atasan, jangan sampai anjuran WFH-nya dicabut sebelum pandemi ini selesai. Untuk teman-teman yang masih harus berangkat ke kantor atau melaksanakan kewajiban lain, mohon terapkan protokol perlindungan diri yang berlaku, tetap jaga kesehatan, semoga senantiasa diberikan perlindungan. Untuk teman-teman yang sedang bertahan hidup karena kehilangan pekerjaan, semoga senantiasa diberikan kekuatan dan rezeki dari segala arah. Untuk teman-teman yang masih punya pekerjaan, keluarganya masih berkecukupan, mohon bersabar sedikit lagi untuk tidak keluar rumah jika tidak ada alasan yang penting.


Dan mari kita sama-sama doakan agar peraturan yang saat ini sedang diterapkan cepat kembali ditinjau ulang dan dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Amin.
Akhir kata, stay safe everyone!

No comments:

Post a Comment