Kali
ini bukan kisah yang membuat saya tepok jidat, namun, lagi-lagi, masih
mengenai tingkah laku anak-anak yang terkadang membuat saya sebagai
orang dewasa, malu. Malu terhadap diri sendiri, semakin tua, semakin
sempit jatah hidup, semakin hanya memikirkan diri sendiri.
Seperti
biasa, setiap hari Jumat selalu diagendakan 'Jumat Ceria', kali ini
temanya adalah makan bersama karena bertepatan dengan Jumat terakhir
dalam satu bulan. Anak-anak diharuskan membawa bekal dari rumah, apa
saja, yang nanti dimakan secara bersama-sama.
Mulai dari makanan berat seperti nasi putih dan ayam goreng, milor (martabak
mi), nasi goreng, sampai roti dan berbagai macam makanan ringan seperti
biskuit dan wafer menghiasi Jumat Ceria kali ini. Tibalah saat yang
dinantikan, anak-anak duduk membentuk lingkaran besar dengan makanan di
hadapan mereka masing-masing.
Makan
bersama dimulai dengan membaca doa sebelum makan, tentunya secara
bersama-sama juga. Makan bersama pun dimulai, mereka sibuk dengan
bekalnya masing-masing. Namanya juga anak-anak usia dini, tentunya ada
saja tingkah yang membuat gurunya "kerepotan". Mulai dari air minum
tumpah, gak mau makan ayam goreng karena ada durinya (tulang, maksudnya.
Ya, duri juga tulang sih, tapi, sudahlah.), milor-nya kelebaran lah,
dan lain-lain.
Di tengah-tengah keributan itu, tiba-tiba saya mendapati seorang anak yang tidak makan apapun. Ternyata dia tidak membawa bekal.
Me: Dennis tidak membawa bekal?
Dennis (5 tahun): Tidak miss.. (tapi tampangnya santai banget)
Me:
Siapa yang mau berbagi? (bertanya ke semua anak, walaupun agak pesimis
karena, saya yang udah gede aja masih pelit banget kalau soal makanan,
apalagi bocah. Jadi buat you-you yang pernah ai kasih makanan tanpa diminta, berarti ai anggep you spesial layaknya telur 3/4 matang di dalam kuah indom*e kari)
Bocah: *hening*
Me: (yaelah dicuekin ni gue)
Tiba-tiba....
Ridho (7 tahun): Saya miss...
Me: (terharu, tapi berusaha stay cool)
Dennis
ini anak baru, sedangkan Ridho anak lama, mereka beda tingkatan juga,
tentunya beda lingkaran pertemanan juga. Saya belum pernah melihat
mereka akrab atau bahkan saling mengobrol atau semacamnya. Perbedaan
"kasta" seperti ini tentunya merupakan hal yang cukup besar di kalangan
anak-anak. But Ridho broke the wall. Saya salut dengan apa yang
telah ditanamkan oleh keluarga dan gurunya di sekolah hingga membentuk
seorang anak menjadi seperti ini.
Dennis
yang awalnya malu-malu akhirnya mau menghampiri Ridho, setelah saya
bujuk. Sambil malu-malu juga dia hanya mengambil seujung sendok saja
nasi goreng milik Ridho. Saya tahu, mungkin Dennis lebih menginginkan
jenis-jenis makanan ringan yang lebih menarik hati bagi anak seusianya.
Terlihat dari keengganannya menghampiri Ridho. Tapi di sini saya
berusaha untuk menanamkan, bahwa, nak, terimalah niat baik dari orang
lain, apapun bentuknya. Karena selalu ada yang dikorbankan dari
pemberian seseorang. Jikalau kau tidak bisa membalasnya, maka dengan
menerimanya tanpa keluh pun sudah lebih dari cukup.
Lagi terharu begitu, saya pikir Dennis sudah cukup dengan satu atau dua suap sebagai "formalitas", lah anak-anak mana paham formalitas say. Ketika saya tengok lagi, itu nasi goreng udah habis, dan Dennis yang mengambil suapan terakhirnya. Enak juga kan, tong? Hahaha. Adegan mengharukan ini ditutup dengan Ridho yang memberikan air minumnya juga.
Moral of the story:
Gak
usah sampai mengorbankan apa yang dipunyai untuk memenuhi hak orang
lain, toh masih banyak orang dewasa yang justru mengambil hak-hak hidup
orang lain.
Gak
usah muluk-muluk mau balas kebaikan orang lain, toh masih banyak orang
dewasa yang udah dikasih, masih ngeluh juga. Di depan yang ngasih pula.
Gak
usah belagak ikhlas dan merasa paling kaya kalau setelah memberi masih
mengharap ucapan terima kasih, apalagi misuh-misuh kalau pemberiannya
gak dihargai.
Bukan
dia, bukan mereka, ini kita, orang dewasa yang katanya akalnya sudah
berkembang seiring dengan banyaknya bangku sekolah yang dimakan.
No comments:
Post a Comment