Sunday 28 January 2018

Lagi-lagi Dipermalukan Anak Kecil

Kali ini bukan kisah yang membuat saya tepok jidat, namun, lagi-lagi, masih mengenai tingkah laku anak-anak yang terkadang membuat saya sebagai orang dewasa, malu. Malu terhadap diri sendiri, semakin tua, semakin sempit jatah hidup, semakin hanya memikirkan diri sendiri.


Seperti biasa, setiap hari Jumat selalu diagendakan 'Jumat Ceria', kali ini temanya adalah makan bersama karena bertepatan dengan Jumat terakhir dalam satu bulan. Anak-anak diharuskan membawa bekal dari rumah, apa saja, yang nanti dimakan secara bersama-sama.

Mulai dari makanan berat seperti nasi putih dan ayam goreng, milor (martabak mi), nasi goreng, sampai roti dan berbagai macam makanan ringan seperti biskuit dan wafer menghiasi Jumat Ceria kali ini. Tibalah saat yang dinantikan, anak-anak duduk membentuk lingkaran besar dengan makanan di hadapan mereka masing-masing.

Makan bersama dimulai dengan membaca doa sebelum makan, tentunya secara bersama-sama juga. Makan bersama pun dimulai, mereka sibuk dengan bekalnya masing-masing. Namanya juga anak-anak usia dini, tentunya ada saja tingkah yang membuat gurunya "kerepotan". Mulai dari air minum tumpah, gak mau makan ayam goreng karena ada durinya (tulang, maksudnya. Ya, duri juga tulang sih, tapi, sudahlah.), milor-nya kelebaran lah, dan lain-lain.

Di tengah-tengah keributan itu, tiba-tiba saya mendapati seorang anak yang tidak makan apapun. Ternyata dia tidak membawa bekal.

Me: Dennis tidak membawa bekal?
Dennis (5 tahun): Tidak miss.. (tapi tampangnya santai banget)
Me: Siapa yang mau berbagi? (bertanya ke semua anak, walaupun agak pesimis karena, saya yang udah gede aja masih pelit banget kalau soal makanan, apalagi bocah. Jadi buat you-you yang pernah ai kasih makanan tanpa diminta, berarti ai anggep you spesial layaknya telur 3/4 matang di dalam kuah indom*e kari)
Bocah: *hening* 
Me: (yaelah dicuekin ni gue)
Tiba-tiba....
Ridho (7 tahun): Saya miss...
Me: (terharu, tapi berusaha stay cool)

Dennis ini anak baru, sedangkan Ridho anak lama, mereka beda tingkatan juga, tentunya beda lingkaran pertemanan juga. Saya belum pernah melihat mereka akrab atau bahkan saling mengobrol atau semacamnya. Perbedaan "kasta" seperti ini tentunya merupakan hal yang cukup besar di kalangan anak-anak. But Ridho broke the wall. Saya salut dengan apa yang telah ditanamkan oleh keluarga dan gurunya di sekolah hingga membentuk seorang anak menjadi seperti ini.

Dennis yang awalnya malu-malu akhirnya mau menghampiri Ridho, setelah saya bujuk. Sambil malu-malu juga dia hanya mengambil seujung sendok saja nasi goreng milik Ridho. Saya tahu, mungkin Dennis lebih menginginkan jenis-jenis makanan ringan yang lebih menarik hati bagi anak seusianya. Terlihat dari keengganannya menghampiri Ridho. Tapi di sini saya berusaha untuk menanamkan, bahwa, nak, terimalah niat baik dari orang lain, apapun bentuknya. Karena selalu ada yang dikorbankan dari pemberian seseorang. Jikalau kau tidak bisa membalasnya, maka dengan menerimanya tanpa keluh pun sudah lebih dari cukup.

Lagi terharu begitu, saya pikir Dennis sudah cukup dengan satu atau dua suap sebagai "formalitas", lah anak-anak mana paham formalitas say. Ketika saya tengok lagi, itu nasi goreng udah habis, dan Dennis yang mengambil suapan terakhirnya. Enak juga kan, tong? Hahaha. Adegan mengharukan ini ditutup dengan Ridho yang memberikan air minumnya juga.

Moral of the story:
Gak usah sampai mengorbankan apa yang dipunyai untuk memenuhi hak orang lain, toh masih banyak orang dewasa yang justru mengambil hak-hak hidup orang lain.
Gak usah muluk-muluk mau balas kebaikan orang lain, toh masih banyak orang dewasa yang udah dikasih, masih ngeluh juga. Di depan yang ngasih pula.
Gak usah belagak ikhlas dan merasa paling kaya kalau setelah memberi masih mengharap ucapan terima kasih, apalagi misuh-misuh kalau pemberiannya gak dihargai.
Bukan dia, bukan mereka, ini kita, orang dewasa yang katanya akalnya sudah berkembang seiring dengan banyaknya bangku sekolah yang dimakan.

No comments:

Post a Comment