Wednesday 7 February 2018

Murid Saya Muntah!

Saya kira judul di atas sudah mewakilkan apa yang ingin saya tuliskan di sini. Nggak, nggak, saya kali ini gak pakai judul-judul hasil dari penyatuan beberapa kata dengan makna ganda, kali ini benar-benar karena saya sudah gak tau lagi mau pakai judul apa, HAHAHA.

Kejadiannya tadi sore, baru saja, jadi masih teringat jelas di kepala saya. Seorang murid saya, laki-laki, usianya sekitar 8 tahun. Anaknya manis, lucu, dan sejauh yang saya tahu dia bukan jenis yang bermasalah. Lempeng lah.

Memang sih, hari ini dia agak terlihat berbeda dari biasanya. Jika biasanya dia mengampiri saya sambil jumpalitan -emang anaknya lincah- untuk sekadar cium tangan ketika saya baru datang, kali ini dia menghampiri saya dengan berjalan dan agak sedikit tidak bersemangat. Saya pikir, mungkin saja dia sedang mood swing, namanya juga anak-anak.

Hari ini materinya praktik sholat, jadilah anak-anak itu berbaris di dalam musholla membentuk shaf. Si anak ini ada di baris kedua. Bersama-sama kami mempraktikkan wudhu, kemudian merapalkan niat sholat beberapa kali, tibalah saatnya takbiratul ihram. Itu juga masih diulang beberapa kali, karena masih ada beberapa anak yang belum sempurna melakukannya.

Tiba saatnya yang dinantikan.
JENGJENG.

Guru: Kali ini serius, ya, tidak diulang lagi.
Bocils: Ya Bu!

ALLAAHU AKBAR.

Bocil 1: BU! BU! DIA MUNTAH!!!!

Saya yang tadinya ngantuk langsung melek. Saya yang tadinya nyender di pintu musholla langsung tegak. Kirain baru hoek-hoek.. Ternyata sudah keluar di tempat sodara-sodara!

Langsung saya ajak ke kamar mandi. DIA GAK MAU DONG. Mungkin dia udah kepalang malu sama teman-temannya. Atau dia lagi menahan untuk tidak gerak sama sekali karena mungkin perutnya masih sangat bergejolak, I really know that feelings. YA TAPI KAN DEK. MASA KAMU MAU LANJUT DI SINI?

Dia masih tidak beranjak dari posisinya. Tubuhnya kaku banget, gak mau gerak. Saya harus berpacu dengan waktu, sementara dia hoek-hoeknya makin heboh, anak-anak lain gak kalah heboh. Saya harus menyelamatkan dia dari sini.

Segala bujuk rayuku tak jua mempan. INI GIMANE. Akhirnya mau sih. Lalu apakah drama cukup sampai di situ sodara-sodara? Tentu tidak!

Sepanjang jalan menuju kamar mandi semakin dahsyat lah itu hoek-hoeknya. Dugaan saya, anak ini udah mual banget dan kita sama-sama tau kan kalau lagi mual banget tuh enakan diem dulu sampai mualnya hilang karena gerakan sedikit saja akan menimbulkan gesekan lempeng tektonik yang membuat magma menyembur deras tak karuan.

Yang memperburuk suasana sebenernya cuma satu: SAYA ORANGNYA TUKANG PANIK. Dah. Itu aja.

Tibalah kami di kamar mandi, dan skala hoek-hoeknya udah 9,5/10. Di dalam kamar mandi semakin dahsyat, saya justru gak tega. Takut tenggorokannya luka karena tampak seperti dia memaksakan isi perutnya keluar. Harusnya saya melakukan hal-hal seperti memijit punggung atau kepala belakangnya tapi saya malah fokus pada hal yang paling berfaedah: KAOS KAKI DIA BELUM DILEPAS.

Kira-kira begini percakapannya:
Dia: HOEEKKK HOEEKKKK
Saya: Kaos kakinya dilepas dulu yuk
Dia: HOEKKK HOEEKKK
Saya: Nanti basah kaos kakinya
Dia: HOEEEKKK HOEKKK
Saya: Lepas dulu ya nanti kena muntahan
Dia: Bu, saya yang muntah ngapa Ibu malah rempong ama kaos kaki

Ya abisan dilema. Mau saya yang ngelepasin, takut dia ambyar di atas kepala saya. Gak dilepas, tapi saya gak bisa lihat orang pakai kaos kaki di tempat basah. Akhirnya fokus saya kembali, menyadari bahwa arah dia gak ke kloset melainkan ke lantai yang akan mengakibatkan segalanya berantakan seperti kisah cinta saya. Akhirnya kepala saya bisa berpikir juga.
Seketika saya melupakan itu kaos kaki. Sekarang gimana caranya biar anak ini mau menghadap ke kloset, YANG MANA DIA GAK MAU. Percakapannya kurang lebih sama dengan yang di atas. Bedanya ini saya nyuruh dia menghadap kloset.

GAGAL. SEMUA GAGAL. Singkat cerita, drama selesai, dia sudah saya bersihkan, kemudian dia dijemput Ibunya sementara saya ngosekin lantai kamar mandi.

Kemudian saya teringat memori puluhan tahun lalu. Kelas 2 SD saya pernah berantem sampai muntah di kelas. Jangankan muntah, sejarah saya lainnya adalah saya pernah BAB di celana waktu kelas 1 SD. Ajaibnya kepala ini, di antara ribuan kenangan indah, justru kenangan-kenangan inilah yang masih jelas terpampang sampai ke detail-detailnya.

Saya masih ingat betapa telatennya guru saya merawat saya yang penuh hina ini kala itu. Betapa tenangnya beliau. Bahkan di kerudung dan bajunya terciprat torehan noda-noda hina yang saya ciptakan kala itu. Saya juga masih ingat 'kebohongan' yang beliau katakan ke teman-teman sekelas ketika melihat saya dijemput emak. "Azkiya lagi sakit jadi harus pulang". PADAHAL MAH SAYA MALU BANGET MAKANYA MINTA PULANG.

Saya ingat betul itu semua. Tidak ada keluhan, tidak ada omelan, sama sekali.:')

Ini baru murid pertama yang saya tangani.
Perlu berapa puluh muntahan yang harus saya tangani hingga saya dapat menjadi teladan sepertimu, guruku?



In memoriam, Almh. Ibu Sri, Wali kelasku.
Aku, dan amal-amalmu dalam mendidikku, kami bersatu menjadi saksi di hadapan Allah SWT, bahwa kau pantas mendapatkan tempat terbaik di surga-NYA. Aamiin.

2 comments:

  1. Ngakak, Lucuu,,,
    Bagus ceritanya ,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, terima kasih Mr. Eko sudah mampir dan meninggalkan jejak :) Ditunggu komentarnya di postingan yang lain, ya!

      Delete