Foto: www.arkive.org |
Hai teman-teman! Perkenalkan, aku adalah duyung, namaku Dugong dugon,
keluargaku biasa memanggilku Dugoni, untuk membedakan dengan saudaraku,
Dugona. Aku tinggal di laut, sama seperti Sharkie Si Hiu, Aplanci Si
Bintang Laut, juga Chelonia Si Penyu. Hmm, kalian pasti bingung ya, kok
rupaku tidak seperti ikan duyung yang ada di film kartun di televisi.
Aku jelaskan ya, putri duyung yang ada di televisi adalah sebuah mitos
dan cerita legenda, mereka tidak benar-benar ada. Akulah duyung yang
asli, dan ingat, aku bukanlah ikan. Aku ini berasal dari keluarga
mamalia, sama seperti kalian, kami bernapas menggunakan paru-paru, bukan insang.
Ibuku mengandungku selama 14 bulan, dengan jarak sekitar 3 hingga 7 tahun antara saudaraku. Cukup lama, bukan? Tapi memang begitulah sifat alami kami. Ibu menyusuiku hingga usiaku mencapai 14-18 bulan. Aku selalu berenang berdekatan dengan Ibuku hingga usiaku mencapai tujuh tahun dan dapat menjalani hidupku sendiri. Sebutanku yang lain adalah sapi laut, lucu, 'kan? Hobiku juga sama lho dengan Tauri Si Sapi, yaitu merumput! Hayo, kalian pasti bingung ya, memangnya di dalam laut ada padang rumput? Kalau begitu, mari ikut aku!
Foto: www.arkive.org |
Selamat
datang di padang lamun, teman-teman, inilah habitatku. Bentuknya mirip
dengan padang rumput di darat kan? Bedanya, tempat tinggalku ini berada
di bawah air. Aku tinggal di pesisir laut dari kedalaman dangkal sampai
sedang, yang pasti terdapat padang lamun karena lamun adalah makanan
kesukaanku! Mari kita lihat rumahku dari dekat!
Foto: http://ocean.si.edu/seagrass-and-seagrass-beds |
Foto: https://www.worldwildlife.org/species/dugong |
Beginilah
bentuk lamun jika dilihat dari dekat, mirip rumput di halaman rumah
kalian, 'kan? Kalau begitu, kalian pasti bertanya-tanya, mengapa rumput
laut yang aku maksud berbeda dengan rumput laut yang biasa kalian
konsumsi dalam bentuk agar-agar atau es campur? Rumput laut yang biasa
kalian konsumsi, berasal dari kelompok makroalga, yang tidak memiliki
akar dan daun sejati, jadi sebutan "rumput laut" biasa dipakai untuk
nama dagang saja. Nah, sedangkan lamun memiliki akar dan daun sejati,
jadi lamun-lah "rumput laut" yang asli! Eits, hati-hati, tentunya kalian
tidak bisa memakan lamun karena rasanya benar-benar seperti rumput
dengan tambahan sedikit rasa asin, hihihi.
Foto: http://ocean.si.edu/ocean-photos/algae-vs-seagrass |
Ada
sekitar 13 jenis lamun di Indonesia dari 60 jenis lamun yang ada di
dunia, mulai dari yang ukurannya kecil, sampai yang besar, namun jenis
lamun yang paling aku sukai ada tiga, yaitu Cymodocea sp., Halodule sp., dan Halophila sp.
Mengapa? Karena jenis-jenis tersebut ukurannya cukup kecil dan halus
bila dibandingkan dengan jenis lainnya, sehingga memudahkanku untuk
mencernanya dalam perutku, hohoho. Ya walaupun begitu, aku juga tidak menolak jika harus memakan jenis-jenis lamun yang lain. Aku ini banyak makan lho, dalam
sehari bisa menghabiskan hingga 25 kg lamun basah. Hayo siapa di sini
yang juga suka makan sayuran buatan Ibu kalian??
Cymodocea rotundata Foto: http://www.seagrasswatch.org/id_seagrass.html |
Halodule uninervis Foto: www.arkive.org |
Halophila ovalis Foto: www.arkive.org |
Sekarang
kalian tahu kan, mengapa aku dan keluargaku sangat bergantung pada
kelestarian padang lamun? Ya, karena padang lamun adalah rumah kami,
juga rumah kalian. Mengapa aku bilang padang lamun juga rumah kalian,
rumah kita? Karena padang lamun memiliki peran yang penting dalam kehidupan kita. Contohnya, lamun juga sama seperti tumbuhan di darat, mereka
menyerap karbondioksida untuk fotosintesis dan menghasilkan oksigen
untuk kita bernapas, juga mengurangi kadar karbondioksida yang ada di atmosfer sehingga membantu meminimalisir dampak perubahan iklim. Contoh lainnya, padang lamun menyediakan tempat
bagi hewan-hewan laut untuk singgah, berlindung, mencari makan, bertelur dan merawat anak-anaknya, seperti ikan baronang, rajungan, bulu babi, kepiting, bahkan penyu. Akar lamun yang berbentuk rimpang juga membantu
pertahanan pantai dari gerusan gelombang. Padang lamun juga berperan untuk menyaring sedimen-sedimen dan limbah dari daratan agar tidak mengganggu
kehidupan di laut lepas.
Padang lamun sebagai 'rumah' bagi berbagai spesies Foto: http://www.alertdiver.com/MangrovesAndSeagrass |
Contoh pembangunan yang mengganggu keberlangsungan padang lamun Foto: http://www.seagrasswatch.org/news_Jan2016archives.htm |
Foto: http://www.habitatadvocate.com.au/?cat=1744 |
Lalu, bagaimana caranya agar kalian dapat membantu kami?
Pertama-tama,
kalian bisa menyebarkan informasi mengenai padang lamun dan keberadaan
duyung seluas-luasnya agar seluruh teman-teman mengerti bahwa kami ada. Kalian juga bisa mencantumkan #DuyungmeLamun dalam setiap tautan yang kalian buat. Jangan lupa juga untuk selalu
mengingatkan kawan-kawan yang tinggal di daratan, untuk tidak membuang
sampah sembarangan, terutama di sungai. Karena sampah-sampah itu akan
mengalir ke laut, ke rumah kami. Perilaku itu akan membuat air laut
menjadi keruh, sehingga menghalangi sinar matahari menembus padang lamun
yang menyebabkan lamun sulit berfotosintesis untuk menghasilkan oksigen
bagi kita semua. Nah, saat liburan sekolah nanti kalian bisa ikut dengan para Bapak-bapak di Taman Nasional untuk melakukan transplantasi atau penanaman kembali lamun-lamun yang baru, sekaligus bisa tolong ingatkan Pak Nelayan yang
masih menggunakan bom untuk berpindah ke alat tangkap ikan yang lebih
ramah lingkungan.
Salah satu contoh metode transplantasi lamun Foto: Dokumentasi pribadi (2014) |
Keberadaan
duyung dibutuhkan untuk menjaga agar padang lamun senantiasa berganti
dengan lamun-lamun baru, karena perilaku makan kami yang rakus, membuat
lamun yang baru terus bertumbuh menggantikan lamun yang kami makan,
hihi. Jika kami punah, maka keseimbangan ekosistem padang lamun akan
terganggu sehingga tak akan ada lagi ikan-ikan dan kerang-kerang, bahkan
kepiting yang biasa menghiasi meja makan kalian.
Satu lagi yang paling penting,
jangan pernah membeli apapun yang berasal dari tubuh kami. Kalian ingin daging? Masih ada daging Tauri Si Sapi yang enak
sekali jika dipanggang. Yum! Juga ada lebih banyak khasiat dan
kandungan nutrisi yang baik pada tetanggaku, Si Gemuk Tuna. Hihi.
Tidak lupa, aku ingin berterima kasih kepada para ahli di DSCP Indonesia, atas kerja kerasnya dalam mengupayakan agar populasi kami tetap terjaga.
Teman-teman juga dapat bergabung dengan kakak-kakak di sana yang siap
membantu menjaga kelestarian kami, lho! Atau kalian dapat berkunjung ke website mereka di www.dugongconservation.org, untuk berkenalan dengan dugong-dugong dari negara lain!
Sesungguhnya kita saling membutuhkan satu sama lain demi terjaganya keseimbangan ekosistem.
Foto: http://www.habitatadvocate.com.au/?cat=1744 |
Laporan Survei Dugong dan Habitat Lamun oleh Juraij dkk. yang diterbitkan oleh WWF Indonesia pada Mei 2017
Dugong Bukan Putri Duyung oleh Anugrah Nontji diterbitkan yang pada April 2015
Ayooo lanjut postingannya jangan dianggurin,
ReplyDeletesemangat nulis lagi bu Azkiya :-)
Siaaaap Pak Dian, terima kasih semangatnya.. Kangen TWC lagi nih saya...
Delete